Kamis, 03 Maret 2011

Bapak


Kenapa diusia sudah semakin senja, bapak semakin sensitif? Seringkali merasa tidak diperhatikan, tidak lagi dibutuhkan dan sebagainya (itu yang kami tangkap). Salah ngomong dikit aja bisa bikin tersinggung. Apalagi kalo ngomongin masalah uang, selalu harus hati-hati karena efeknya bisa dasyat banget. Suasana bisa berubah jadi ga enak, bahkan kadang bisa bikin diantara kami terluka

Semasa aku kecil, bapak sering mengajak keluarga jalan-jalan meski hanya makan diluar ataupun berenang. Padahal bapak punya usaha yang dia pegang sendiri, benar-benar menyita waktunya, tapi tetap aja bapak menyempatkan diri untuk keluarga (kenangan manis yang ga pernah aku lupa)

Bapak memang berwatak keras, aturan yang ditetapkan di keluarga membuat kami seringkali memberontak. Beliau mendidik kami tanpa membedakan jenis kelamin. Efeknya terasa sekarang, meski kami perempuan, kami tak pernah sepenuhnya bergantung pada kaum pria. Ketika suaminya meninggal, kakakku tetap survive membesarkan anak-anaknya sendiri sampai berhasil, pun ketika aku mengalami perceraian yang memporak porandakan hidupku, baik moril maupun materiil, aku tetap berusaha bangkit sendiri. Mungkin itu karena kombinasi didikan bapak yang disiplin dan keras, juga ibu yang lembut dan terus menerus mensuport kami.

Namun sejak ibunda tercinta tiada, semua itu berubah total. Seringkali diantara kami saling melukai tanpa sengaja. Setiap kali kami berdiskusi atau berkumpul, yang jadi topik pembicaraan hanyalah uang dan bisnis. Dulupun seperti itu, tapi kehangatan sebuah keluarga tetap terasa ada. Dan aku tau ini karena tidak ada lagi ibu diantara kami. Ya Allah betapa rindunya aku....

Kehadiran wanita lain bukan hal baru dalam keluargaku, jauh sebelum ibuku pergi mereka sudah ada (Ya Allah betapa sabarnya ibu, dan betapa semakin besar cintaku pada beliau). Dan dari kesimpulan kami mereka bukan perempuan seperti ibuku, dan bapak akui itu. Tuntutan demi tuntutan mereka yang membuat bapak semakin stress, memilih antara kepentingan kami dan mereka aja bisa bikin bapak down (salah satu resiko poligami, dan selalu bapak tekankan pada dua saudara lelakiku untuk tidak melakukan hal yang sama).

Sejujurnya kami ingin suasana penuh kasih antara ayah dan anak. Kami ingin duduk bersama tanpa ketegangan. Tapi kenapa bapak selalu menghindar. Apa bapak pikir kami hanya memikirkan materi dan duniawi? kenapa sulit sekali berkomunikasi?

Aku bersyukur punya sosok ayah seperti bapakku, selalu memberikan yang terbaik, selalu memikirkan masa depan anak-anaknya, bahkan sampai kami menikah dan mulai berbisnis pun tak lepas dari bantuan bapak. Dan kami mensyukuri itu. Dulu tak terlalu terpikirkan masalah hati dan kasih sayang karena ada Ibu, kami bisa mendapatkan dua hal bersamaan dari mereka. Ketika kami menghadapi kesulitan usaha, bapak ga pernah diam, ketika kami ada masalah pribadi, ibu yang maju memberi suport. Yah.... mungkin kami egois menuntut bapak bisa sesempurna orang tua yang komplit. Tidak....tidak... kami ga nuntut bapak bisa seperti ibu, paling tidak, ada saatnya bisa saling mengungkapkan rasa sayang. 

Pada akhirnya kami hanya bisa saling curhat berenam. berusaha menghilangkan rasa cemburu tiap kali melihat dan mendengar begitu care nya bapak pada "anak-anak yang lain" . Ambil positifnya saja, bahwa kami semakin mandiri, semakin saling menyayangi, dan semoga menjadi semakin dewasa dan bijak. 

Rasa cintaku ga pernah luntur sampai kapanpun, karena beliau adalah bapakku. Meski seringkali melukai hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.